Rabu, 24 Oktober 2018

Metode Kodifikasi Hadits


KODIFIKASI HADITS dan METODENYA
Oleh M. Syakur Sf.


Pengertian 
Kodifikasi atau tadwin hadits secara resmi disinonimkan dengan tadwin al-hadits Rasmiyan, tentunya akan berbeda dengan penulisan hadits atau kitabah al-hadits. Secara etimologi kata kodifikasi berasal kata codification yang berarti penyusunan menurut aturan/ sistem tertentu.[1] Atau dari kata tadwin dapat berarti perekaman (recording), penulisan (writing down), pembukuan (booking), pendaftaran (listing, registration). Lebih dari itu, kata tadwin juga berarti pendokumentasian, penghimpunan atau pengumpulan serta penyusunan. Maka kata tadwin tidak semata- mata berarti penulisan, namun ia mencakup penghimpunan, pembukuan dan pendokumentasian.[2]
Adapun kata rasmiyan (secara resmi) mengandung arti bahwa suatu kegiatan dilakukan oleh lembaga administratif yang diaukui oleh masyarakat, baik langkah yang ditempuh tersebut diakui atau tidak oleh masyarakat itu sendiri.
Jadi yang dimaksud dengan kodifikasi hadits secara resmi adalah penulisan hadits nabi yang dilakukan oleh pemerintah yang disusun menurut aturan dan sistem tertentu yang diakui oleh masyarakat.
Adapun perbedaan antara kodifikasi hadits secara resmi dan penulisan hadits adalah:
a. Kodifikasi hadits secara resmi dilakukan oleh suatu lembaga administratif yang diakui oleh masyarakat, sedang penulusan hadits dilakukan oleh perorangan.
b. Kegiatan kodifikasi hadits tidak hanya menulis, tapi juga mengumpulkan, menghimpun dan mendokumentasikannya.
c. Tadwin hadits dilakukan secara umum yang melibatkan segala perangkat yang dianggap kompeten terhadapnya, sedang penulisan hadith dilakukan oleh orang-orang tertentu.[3]

SEJARAH KODIFIKASI HADITS

Ide penghimpunan hadits nabi secara tertulis untuk pertama kali dikemukakan oleh Khalifah Umar bin al-Khatthab (w.23 H=633 M). Ide tersebut tidak dilaksanakan oleh Umar karena Umar merasa khawatir umat Islam akan terganggu perhatiannya dalam mempelajari al-Qur’an. Pembatalan niat Umar untuk menghimpun hadits nabi itu dikemukakan sesudah beliau melakukan shalat Istikharah selama satu bulan. Kebijaksanaan Umar dapat dimengerti karena pada zaman Umar daerah Islam telah semakin luas dan hal itu membawa akibat jumlah orang yang baru memeluk Islam semakin bertambah banyak.[4]
Memasuki periode tabi’in, sebenarnya kekhawatiran membukukan/ kodifikasi hadits tidak perlu terjadi, justru pada periode ini telah bertabur hadits- hadits palsu yang mulai bermunculan setelah umat Islam terpecah menjadi golongan-golongan, yang semula berorientasi politik berubah menjadi faham keagamaan, seperti Khawarij, Syi’ah, murji’ah, dan lain- lain. Perpecahan ini terjadi sesaat setelah peristiwa tahkim yang merupakan rentetan peristiwa yang berasal dari terbunuhnya khalifah Umar bin Affan ra. Untuk mengukuhkan eksistensi masing- masing golongan mereka merasa perlu mencipta hadits palsu.[5]
Kemudian semua karya tentang hadits dikumpulkan pada paruh akhir abad ke- 2H/ 8M atau selama abad ke-3/9M. Berbagai catatan sejarah menunjukkan bahwa di seputar awal abad ke-2H, sejumlah kecil muhadditsun (ahli hadits) telah mulai menulis hadits, meskipun tidak dalam himpunan yang runtut. Belakangan koleksi kecil ini menjadi sumber bagi karya-karya yang lebih besar. Meskipun begitu kebanyakan hadits yang ada dalam himpunan- himpunan besar disampaikan melalui tradisi lisan. Sebelum dicatat dalam himpunan- himpunan tersebut belum pernah dicatat di tempat manapun.[6]
Ada beberapa pendapat yang berkembang mengenai kapan kodifikasi secara resmi dan serentak dimulai.
(1)  Kelompok Syi’ah, mendasarkan pendapat Hasan al-Sadr (1272-1354 H), yang menyatakan bahwa penulisan hadis telah ada sejak masa Nabi dan kompilasi hadis telah ada sejak awal khalifah Ali bin Abi Thalib (35 H), terbukti adanya Kitab Abu Rafi’, Kitab al-Sunan wa al-Ahkam wa al-Qadaya..
(2) Sejak abad I H, yakni  atas prakarsa seorang Gubernur Mesir ‘Abdul ‘Aziz bin Marwan yang memerintahkan kepada Kathir bin Murrah, seorang ulama Himsy untuk mengumpulkan hadis, yang kemudian disanggah Syuhudi Ismail dengan alasan bahwa perintah ‘Abdul ‘Aziz bin Marwan bukan merupakan perintah resmi, legal dan kedinasan terhadap ulama yang berada di luar wilayah kekuasaannya.
(3) Sejak awal abad II  H,   yakni masa Khalifah ke-5 Dinasti ‘ Abbasiyyah, ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz yang memerintahkan kepada semua gubernur dan ulama di wilayah kekuasaannya untuk mengumpulkan hadith- hadith Nabi. Kepada Ibnu Shihab al-Zuhri, beliau berkirim surat yang isinya:” Perhatikanlah hadis Rasulullah SAW., lalu tulislah. Karena aku mengkhawatirkan lenyapnya ilmu itu dan hilangnya para ahli” dan kepada Abu Bakar Muhammad ibn ‘Amr ibn Hazm, beliau menyatakan: “Tuliskan kepadaku hadis dari Rasulullah yang ada padamu dan hadith yang ada pada  ‘Amrah (Amrah binti Abdurrahman, w. 98 H), karena aku mengkhawatirkan ilmu itu akan hilang dan lenyap.”
Pendapat ketiga ini yang dianut Jumhur Ulama Hadis, dengan pertimbangan jabatan khalifah gaungnya lebih besar daripada seorang gubernur, khalifah memerintah kepada para gubernur dan ulama dengan perintah resmi dan legal serta adanya tindak lanjut yang  nyata dari para ulama masa itu untuk mewujudkannya dan kemudian menggandakan serta menyebarkan ke berbagai tempat.
Dengan demikian, penulisan hadits yang sudah ada dan marak tetapi belum selesai ditulis pada masa Nabi, baru diupayakan kodifikasinya secara serentak, resmi dan massal pada awal abad II H, yakni masa ‘Umar bin ‘Abdul ’Aziz, meskipun bisa jadi inisiatif tersebut berasal dari ayahnya, Gubernur Mesir yang pernah mengisyaratkan hal yang sama sebelumnya.
Adapun siapa kodifikator hadits pertama, muncul  nama Ibnu Shihab al-Zuhri (w. 123 H), karena beliaulah yang pertama kali mengkompilasikan hadits dalam satu kitab dan menggandakannya  untuk diberikan ke berbagai wilayah, sebagaimana pernyataannya: ”Umar bin ‘Abdul ‘Aziz memerintahkan kepada kami menghimpun sunnah, lalu kami menulisnya menjadi beberapa buku.” Kemudian beliau mengirimkan satu buku kepada setiap wilayah yang berada dalam kekuasaannya. Demikian pandangan yang dirunut sebagian besar sejarawan dan ahli Hadits. Adapun ulama yang berpandangan Muhammad Abu Bakr ibn Amr ibn Hazm yang mengkodifikasikan hadits pertama, ditolak oleh banyak pihak, karena tidak digandakannya hasil kodifikasi Ibn Amr ibn Hazm untuk disebarluaskan ke berbagai wilayah.
Meski demikian, ada juga yang berpendapat bahwa kodifikator hadits sebelum adanya instruksi kodifikasi dari Khalifah Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz telah dilakukan, yakni oleh Khalid bin Ma’dan (w. 103 H). Rasyid Ridha (1282-1354 H) berpendapat seperti itu, berdasar periwayatan, Khalid telah menyusun kitab pada masa itu yang diberi kancing agar tidak terlepas lembaran-lembarannya. Namun pendapat ini ditolak ‘Ajjaj al-Khatib, karena penulisan tersebut bersifat individual,  dan hal tersebut telah dilakukan jauh sebelumnya oleh para sahabat. Terbukti adanya naskah kompilasi hadits dari abad I H, yang sampai kepada kita, yakni al-Sahifah al-Sahihah.[7]
Di antara buku-buku yang muncul pada masa ini adalah:
1) Al-Muwaththa’ yang ditulis oleh Imam Malik
2) Al-Mushannaf oleh Abdul Razzaq bin Hammam Ash-Shan’ani
3) As-Sunnah ditulis oleh Abd bin Manshur
4) Al-Mushannaf dihimpun oleh Abu Bakar bin Syaybah, dan
5) Musnad Imam Asy-Syafi’i.[8]
Teknik pembukuan hadits-hadits pada periode ini sebagaimana disebutkan pada nama-nama tersebut, yaitu al-mushannaf, al-muwaththa’, dan musnad.
Arti istilah-istilah ini adalah:
a. Al-Mushannaf dalam bahasa diartikan sesuatu yang tersusun. Dalam istilah yaitu teknik pembukuan hadits didasarkan pada klasifikasi hukum fiqh dan di dalamnya mencantumkan hadits marfu’, mauquf, dan maqthu’.
b. Al-Muwatththa’ dalam bahasa diartikan sesuatu yang dimudahkan. Dalam istilah Al-Muwaththa’ diartikan sama dengan Mushannaf.
c. Musnad dalam bahasa tempat sandaran sedang dalam istilah adalah pembukuan hadits yang didasarkan pada nama para sahabat yang meriwayatkan hadits tersebut
Tulisan-tulisan hadits pada masa awal sangat penting sebagai dokumentasi ilmiah dalam sejarah, sebagai bukti adanya penulisan hadits sejak zaman Rasul Allah, sampai dengan pada masa pengkodifikasian resmi dari Umar bin Abdul Aziz, bahkan sampai pada masa sekarang.[9]
Aktifitas Ulama dalam kodifikasi hadits sejak Abad II H.
1. Kodifikasi Hadits Abad II H.
Pada abad kedua, para ulama dalam aktifitas kodifikasi hadits tidak melakukan penyaringan dan pemisahan, mereka tidak membukukan hadits-hadits saja, tetapi fatwa sahabat dan tabi’in juga dimasukkan ke dalam kitab-kitab mereka. Dengan kata lain, seleksi hadits pada abad kedua ini di samping memasukkan hadits-hadits nabi juga perkataan para sahabat dan para tabi’in juga dibukukan, sehingga dalam kitab- kitab itu terdapat hadits- hadits marfu’, hadith mawquf dan hadith maqthu’.[10]

2. Kodifikasi Hadits Abad III H.
Abad ketiga Hijriah ini merupakan masa penyaringan dan pemisahan antara sabda Rasul Allah dengan fatwa sahabat dan tabi’in. Masa penyeleksian ini terjadi pada zaman Bani Abbasyiyah, yakni masa al- Ma’mun sampai al- Muktadir (sekitar tahun 201- 300 H). Periode penyeleksian ini terjadi karena pada masa tadwin belum bisa dipisahkan antara hadits marfu’, mawquf, dan maqthu’, hadits yang dlaif dari yang sahih ataupun hadits yang mawdhu’ masih tercampur dengan sahih. Pada saat ini pula mulai dibuat kaidah-kaidah dan syarat-syarat untuk menentukan apakah suatu hadits itu shahih atau dla'if. Para periwayat hadits pun tidak luput dari sasaran penelitian mereka untuk diteliti kejujuran, kekuatan hafalan, dan lain sebagainya.[11]

3. Kodifikasi Hadits Abad IV-VII H.
Kalau abad pertama, kedua, dan ketiga, hadits berturut-turut mengalami masa periwayatan, penulisan, pembukuan, serta penyaringan dari fatwa- fatwa sahabat dan tabi’in, yang system pengumpulan haditsnya didasarkan pada usaha pencarian sendiri untuk menemui sumber secara langsung kemudian menelitinya, maka pada abad keempat dan seterusnya digunakan metode yang berlainan. Demikian pula, ulama yang terlihat pada sebelum abad ke empat disebut dengan ulama mutaqaddimun dan ulama yang terlibat dalam kodifikasi hadits pada abad keempat dan seterusnya disebut ulama mutaakhirin.
Pembukuan hadits pada periode ini lebih mengarah pada usaha mengembangkan variasi pen-tadwin-an terhadap kitab-kitab hadits yang sudah ada. Maka, setelah beberapa tahun dari kemunculan al-Kutub as-Sittah, al- Muwaththa’ Imam Malik ibn Anas, dan al-Musnad Ahmad ibn Hanbal, para ulama mengalihkan perhatian untuk menyusun kitab-kitab yang berbentuk jawami’, takhrij, athraf, syarah, dan mukhtashar, dan menyusun hadits untuk topik-topik tertentu.[12]

4. Kodifikasi Hadits Abad VII- sekarang
Kodifikasi hadits yang dilakukan pada abad ketujuh dilakukan dengan cara menertibkan isi kitab-kitab hadits, menyaringnya, dan menyusun kitab-kitab takhrij, membuat kitab-kitab jami’ yang umum, kitab-kitab yang mengumpulkan hadits- hadits hukum, men-takhrij hadits-hadits yang terdapat dalam beberapa kitab, men-takhrij hadits-hadits yang terkenal di masyarakat, menyusun kitab Athraf, mengumpulkan hadits- hadits disertai dengan menerangkan derajatnya, mengumpulkan hadits- hadits dalam shahih al- Bukhari dan Shahih Muslim, men-tashih sejumlah hadits yang belum ditashhih oleh ulama sebelumnya, mengumpulkan hadits- hadits tertentu sesuai topik, dan mengumpulkan hadits dalam jumlah tertentu.[13]

FAKTOR- FAKTOR PENDORONG KODIFIKASI HADITS

Ada tiga hal pokok yang melatar belakangi mengapa khalifah Umar bin Abd Aziz melakukan kodifikasi hadits:
1. Beliau khawatir hilangnya hadits-hadits, dengan meninggalnya para ulama di medan perang. Ini adalah faktor utama sebagaimana yang terlihat dalam naskah surat- surat yang dikirimkan kepada para ulama lainnya.
2. Beliau khawatir akan tercampurnya antara hadith- hadits yang shahih dengan hadits-hadits palsu.
3. Dengan semakin meluasnya daerah kekuasaan Islam, sementara kemampuan para tabi’in antara satu dengan yang lainnya tidak sama jelas sangat memerlukan adanya kodifikasi ini.[14]
Dengan demikian faktor terpenting pendorong dilakukannya kodifikasi hadits adalah untuk menyelamatkan hadits- hadits nabi dari kepunahan dan pemalsuan.

PENENTU KEBIJAKAN KODIFIKASI DAN ULAMA YANG TERLIBAT DI DALAMNYA

Para ulama salaf dari kalangan sahabat dan tabi’in berbeda pendapat penulisan hadits dalam beberapa pendapat:
a. Sebagian mereka membencinya, di antaranya adalah Ibn Umar dan Ibn Mas’ud, dan Zaid bin Tsabit.
b. Sebagian lain membolehkannya, di antaranya adalah Abdullah bin Ameer dan Anas, Umar bin Ibnu Abdul Aziz serta kebanyakan para sahabat.
c. Kemudian mereka sepakat untuk membolehkannya, dan hilanglah perbedaan. Dan seandainya hadits tidak dibukukan dalam kitab- kitab niscaya akan sirnalah dalam masa akhir terutama di masa kita sekarang.[15]
Sedangkan ulama yang terlibat di dalam kodifikasi hadits antara
lain :
1. Khalifah Umar bin Abdul Aziz. (memerintah mulai tahun 99-101 H). Beliaulah yang memerintahkan adnya pembukuan hadits dengan alasan kuatir lenyapnya ajaran-ajaran nabi berhubung telah banyak ulama dan sahabat yang wafat. Karena itu beliau menginstruksikan kepada para gubernur dari semua daerah Islam supaya menghimpun dan menulis hadits-hadits nabi.[16]
2. Abdul Malik bin Abdul Aziz (-150 H) di Makkah.
3. Malik bin Anas (93-179 H) dan Muhammad bin Ishaq (-151 H) di Madinah.
4. Muhammad ibnu Abdurrahman bin Dzi’ib (80-158 H) di Makkah.
5. Rabi’ bin Sabih (-160 H), Sa’id bin ‘Arubah (-156 H) dan Hammad ibn Salamah (-167 H) di Basrah.
6. Sufyan at-Tsauri (97-161 H) di Kufah, Khalid ibn Jamil al-’Abd dan Ma’mar ibn Rashid  (95-153 H) di Yaman.
7. Abdurrahman bin ‘Amr al-Auza’i (88-157 H) di Syam.
8. ’Abdullah ibn al-Mubarak (118-181 H) di Khurasan.
9. Hasyim ibnu Busyair (104-183 H) di Wasit.
10. Jarir ibn Abdul Hamid (110-188 H) di Rayy.
11. Abdullah ibn Wahb (125-197 H) di Mesir.[17]
Proses kodifikasi pada masa ulama Ibnu Abdul Aziz
Untuk keperluan tadwin ini, sebagai khalifah Umar memberikan instruksi kepada Abu Bakar ibn Muhammad ibn Hazm, seorang gubernur Madinah agar mengumpulkan dan menghimpun hadits- hadits yang ada pada Amrah binti Abd al- Rahman al-Anshari dan al-Qasim ibn Muhammad ibn Abu Bakar. Instruksi untuk mengumpulkan dan mengkodifikasikan hadits juga disampaikan kepada Muhammad ibn Syihab al-Zuhri, seorang ulama besar di negeri Hijaz dan Syam. Al-Zuhri menggalang agar para ulama hadithmengumpulkan hadits di masing- masing daerah mereka, dan ia berhasil menghimpun hadits dalam satu kitab sebelum khalifah meninggal dunia yang kemudian dikirimkan oleh khalifah ke berbagai daerah untuk bahan penghimpunan hadits selanjutnya.[18]

ANALISIS
Dari pemaparan tentang kodifikasi hadits di atas penulis sangat sependapat dengan usaha pengkodifikasian hadits yang di prakarsai oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Dengan alasan- alasan kuat yang diajukan oleh Khalifah Umar penulis menganggap pelaksanaan kodifikasi sangat di perlukan untuk dilakukan. Selain untuk menjaga ajaran-ajaran Nabi Muhammad saw., pengkodifikasian juga diperlukan untuk menghindari pemalsuan hadits Nabi.
Hal ini perlu dilakukan karena hadits merupakan salah satu pedoman umat Islam dalam menjalankan syari’ah. Peran hadits dinilai sangat penting karena kedudukannya sebagai penjelas ayat- ayat yang belum jelas. Banyak ayat- ayat al-Qur’an yang memerintahkan melaksanakan ibadah-ibadah tertentu, akan tetapi tidak menjelaskan caranya. Misalnya shalat dan haji. Dan bagaimana cara pelaksanaan shalat dan haji dijelaskan dalam hadits nabi.
Dengan demikian pengkodifikasian hadith perlu mendapat apresiasi yang tinggi terhadap pelopor dan pelaksananya.

SIMPULAN
Rencana untuk mengumpulkan hadits- hadits nabi pertama dimulai oleh Khalifah Umar bin Khattab. Namun dengan berbagai pertimbangan rencana tersebut batal dilaksanakan. Alasan utamanya adalah karena waktu itu masih berlangsung pengumpulan al-Qur’an.
Sedangkan kodifikasi hadits secara resmi dilakukan pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Abdul Aziz. Khalifah Umar memerintahkan kepada para gubernur untuk mengumpulkan  dan melakukan pembukuan terhadap hadits.
Ulama yang terlibat di dalam kodifikasi hadits antara lain:
- Khalifah Umar bin Abdul Aziz. (memerintah mulai tahun 99-101 H).
- Abdul Malik bin Abdul Aziz (-150 H) di Makkah. - - Malik bin Anas (93-179 H) dan Muhammad bin Ishaq (-151 H) di Madinah.
- Muhammad bin Abdurrahman bin Dzi’ib (80-158 H) di Makkah.
- Rabi’ bin Sabih (-160 H), Sa’id bin ‘Arubah (-156 H) dan Hammad ibn Salamah (-167 H) di Basrah.
- Sufyan al-Thauri (97-161 H) di Kufah,
- Khalid ibn Jamil al-’Abd dan Ma’mar ibn Rashid  (95-153 H)  di Yaman.
- Abdurrahman bin ‘Amr al-Auza’i (88-157 H) di Sham.
- Abdullah ibn al-Mubarak (118-181 H)  di Khurasan.
- Hashim ibnu Bushair (104-183 H) di Wasit.
- Jarir ibn Abdul Hamid (110-188 H) di Rayy.
- Abdullah ibn Wahb (125-197 H) di Mesir.
==============
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Zainul, Studi Hadis, (Surabaya: Alpha, 2005).
al- Asqalani, Ahmad bin Ali bin Hajar, fath al Bari, juz I.
Echols, John, M. Hasan shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia,1996).
Idri, Studi Hadis, (Jakarta: Kencana, 2010).
Ismail, Syuhudi, Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995).
Ja’fariyan, Rasul, Penulisan dan Penghimpunan Hadith kajian histori, (Lentera, 1992).
Ranuwijaya, Utang, Ilmu Hadis, (Jakarta: Radar Jaya, 1996)
Thahan, Mahmud, Ulumul Hadith, Studi Komplesitas hadith nabi, penerjemah, Zainul Muttaqin, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press & LP2KI, 1997).
Zuhri, M., Hadits Nabi, Telaah Historis dan Metodologis, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997).
=========
1 John Echols, M. Hasan shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1996), h. 122.
2 Zainul Arifin, Studi Hadis, (Surabaya: Alpha, 2005), h. 34.
3 Ibid, h. 35.
4 Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h. 49.
5 M. Zuhri, Hadits Nabi, Telaah Historis dan Metodologis, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), h. 52.
6 Rasul Ja’fariyan, Penulisan dan Penghimpunan Hadith kajian histori,(Lentera, 1992), h. 23.
7 Nurun Najwah, http://uin-suka.info/ejurnal/index.php?option=com_content&task=view&id=25&Itemid=28
8 Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ilmu Hadis, (Surabaya: Bina Ilmu, 1993), h. 85
9 http://komppaq.blogspot.com/2010/07/sejarah-kodifikasi-hadis.html
10 Idri, Studi Hadis, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 95.
11 Ibid, h. 97.
12 Ibid, h. 99.
13 Ibid, h. 101.
14 Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, (Jakarta: Radar Jaya, 1996), h. 68.
15 Mahmud Thahan, Ulumul Hadith, Studi Komplesitas hadith nabi, penerjemah, Zainul Muttaqin, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press & LP2KI, 1997), h. 194.
16 Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ilmu Hadis, h. 85.
18 Ahmad bin Ali bin Hajar al- Asqalani, fath al Bari, juz I, h. 195.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar