Rabu, 22 Agustus 2018

Antara Korban & Qurban

Korban
& Qurban
Oleh H. Mahlail Syakur Sf.
Dosen FAI universitas Wahid Hasyim Semarang
syakur@unwahas.ac.id
**************
Dalam bahasa Indonesia terkadang sulit dibedakan antara Qurban dan Korban, atau keduanya sering ditulis sama, yaitu "korban". Padahal dalam teks agama terutama Islam, keduanya harus dipahami dengan makna yang berbeda karena sumber kata dan kasusnya berbeda.

Korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi pihak yang dirugikan.
Ilmunya dinamakan viktimolog, yaitu ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang korban.
Menurut kamus Crime Dictionary yang dikutip seorang ahli (Abdussalam, 2010:5) bahwa Victim adalah “orang yang telah mendapat penderitaan fisik atau penderitaan mental, kerugian harta benda atau mengakibatkan mati atas perbuatan atau usaha pelanggaran ringan dilakukan oleh pelaku tindak pidana dan lainnya”. Disini jelas yang dimaksud “orang yang mendapat penderitaan fisik dan seterusnya” itu adalah korban dari pelanggaran atau tindak pidana.
Selaras dengan pendapat diatas adalah (Arif Gosita, 1989:75) menyatakan yang dimaksud dengan korban adalah:
“mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita”.
Ini menggunakan istilah penderitaan jasmaniah dan rohaniah (fisik dan mental) dari korban dan juga bertentangan dengan hak asasi manusia dari korban.
Contoh : korban banjir, korban gempa, korban mutilasi, korban penembakan,  dsb.
Jadi,  korban berkonotasi negatif (negative connotasion).

Qurban?
Qurban berasal dari bahasa Arab, “Qurban” yang berarti dekat (قربان). Kurban dalam Islam juga disebut dengan "al-udhhiyyah" (الاضحية) dan "adh-dhabhiyyah" (الذبحية) yang berarti binatang sembelihan, seperti unta, kerbau, sapi, dan kambing yang disembelih pada hari raya Idul Adha dan hari-hari tasyriq sebagai bentuk "taqarrub" atau mendekatkan diri kepada Allah.

Dalil disyari’atkannya Ibadah Qurban:
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu, dan berqurbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membencimu dialah yang terputus.” (Al-Kautsar: 1 — 3).

“Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebagai syi'ar Allah. Kamu banyak memperoleh kebaikan darinya, maka sebutlah nama Allah ketika kamu menyembelihnya.” (Al-Hajj: 36).

Jadi, qurban berkonotasi positif (positive connotasion).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar