Jumat, 20 Juli 2018

Tradisi Kupatan: Media Pendidikan Sosial Keagamaan
Oleh H.
Mahlail Syakur Sf.

Budaya Lokal yang ditinggalkan oleh para Leluhur bangsa di Nusantara ini terutama di wilayah Jawa cukup banyak dan bervariasi. Ada yang berupa bangunan, kesenian, tradisi, dan sebagainya. Di antara tradisi peninggalan Leluhur yang masih eksis hingga kini adalah “KUPATAN”. Tradisi yang sangat sederhana ini perlu dilestarikan mengandung nilai-nilai edukasi tinggi.
Terma “Kupatan” diambil dari kata “kupat”, yaitu makanan tradisional dengan bahan utama beras yang dibungkus dengan anyaman janur berbentuk Segi Empat dengan volume antara 200 - 300 mg. Makanan ini rasanya mirip dengan lontong yang umumnya dibuat dengan bungkus daun pisang.
Unsur-unsur dalam Tradisi Kupatan:
Bahan
Proses Pembuatan
Penghidangan 

Tradisi Kupatan sebagai Media Pendidikan
Banyak nilai pendidikan yang dapat diambil dari Tradisi Kupatan, mulai dari proses pembuatan hingga penyajian. Pesan dan nilai pendidikan semakin terasa manakala bangsa ini mulai merasakan getaran-getaran kecil akibat perkembangan teknologi yang mendorong sebagian kecil manusia memanfaatkannya sebagai media perpecahan dan disintegrasi bangsa mulai terancam. Para Leluhur bangsa ini memanfaatkan momentum Lebaran secara cerdas untuk mendidik ummat, bagi dari segi sosial maupun keagamaan.
Dilihat dari bahan, kupat dibuat dari bahan “janur”, yaitu daun kelapa yang masih muda. Hal ini mengisyaratkan bahwa manusia yang baik adalah mereka yang siap memberi manfaat kepada yang lain dan harus dimulai sejak usia muda, tidak perlu ditunda-tunda atau berarti bahwa yang muda harus berprestasi.
Dilihat dari segi proses pembuatan, kupat membutuhkan keterampilan khusus meski sederhana, dan ketelitian. Proses ini secara tidak langsung menyandarkan bangsa bahwa untuk memperoleh hasil / prestasi yang baik dibutuhkan keterampilan (softskills) dan mengerjakannya secara serius dan teliti sesuai dengan tahapan dan prosedur yang berlaku. Jika dalam proses pembuatannya ada yang salah atau tidak dikerjakan secara teliti maka hasilnya tidak sesuai dengan harapan atau bahkan gagal.
Dilihat dari segi isi, hampir dapat dipastikan bahwa isi atau bahan utama kupat adalah beras. Hal ini secara tidak langsung mendidik bangsa agar terbiasa mencintai produksi lokal sebagaimana yang diajarkan dalam fiqh mengenai zakat fitrah.
Dilihat dari segi penyajian atau cara makan, kupat dimakan dengan cara mengiris atau menyobek janur pembungkusnya dengan alat yang tajam seperti pisau dan sebagainya, bukan dikelupas atau dilepas janurnya dari anyaman pembungkus. Cara ini mengandung ajaran bahwa dalam suasana Lebaran setiap manusia/ bangsa harus siap mengaku kesalahan dan mau memohon maaf kepada teman atau saudaranya, tetapi meskipun demikian saudara atau temannya harus berhati-hati dan bijak dalam menghadapi pengakuan saudara atu temannya, tidak diperbolehkan membongkar kesalahan atau aib orang lain secara gegabah. Dengan demikian terjadilah “Halal bi-Halal” sebagaimana yang dikenal selama ini.
Tradisi Kupatan dirasa sangat efektif sebagai media pendidikan karena dalam momentum ini masyarakat berkumpul di masjid atau mushalla terdekat guna makan bareng kupat dan sayur hasil kreativitas masing-masing. Kesempatan itu meruapakan momen yang sangat baik bagi seluruh komponen masyarakat untuk bertemu, saling mendoakan, dan makan bareng. Rasa kebersamaan dan kerukunan sangat terasa, tidak ada sedikitpun rasa sirik dan dengki dalam suasana itu. Mereka menyadari betapa sulit untuk waktu berkumpul karena kesibukan kerja masing-masing. Kecuali itu kehadiran mereka ke masjid atau mushalla merupakan media pendidikan bagi orangtua untuk melatih anak-anak dan generasi muda agar lebih dulu mengenal masjid atau mushalla sebelum mengenal tempat-tempat lainya setelah lebaran, agar mereka terbiasa hadir ke masjid/ mushalla yang lama-lama mau menjalankan shalat berjama’ah. 
Itu sekilas nilai-nilai pendidikan sosial dan keagamaan di balik Tradisi Kupatan.

Penulis:
Pemerhati Pendidikan dan Budaya,
Dosen FAI Unwahas Semarang,
Ketua Takmir Mushalla al-Hadi Ngembalrejo Kudus

======  http://suaranahdliyin.com/menelisik-makna-di-balik-tradisi-kupatan-4253

Bio Data M. Syakur Sf.

Profile M. Syakur Sf.
Nuwunsewu !!!
Ini Mahlail Syakur Sf. (MS2F). Aku berangkat dari keluarga petani yang tinggal di desa (Serangan Bonang Demak Jawa Tengah), menuju kampus untuk menuntut ilmu di bangku S3 program Doktor Tafsir Hadits IAIN SA Surabaya untuk memenuhi pesan al-Qur`an bahwa "Allah tidak berkenan mengubah kondisi kaum hingga mereka mengubahnya sendiri".

Sejak Awal Maret 2005 saya diberi amanat untuk memegang jabatan Dekan FAI Universitas Wahid Hasyim Semarang.
Kini saya bersama isteriku (Dra. Umada Ummu Mawarda) tersayang dan tiga anakku (Anak-anak kami: 1. Mawarda Alistinafia Ningtyas, Usaila Raunaquel Batta, dan Laynufar Silsilia Alhila) tinggal di Pontren Darus Sa'adah Ngembalrejo Kudus.

Sejak semester genap 2009/2010 aku ikut ngajar di Program Pasca Sarjana Unwahas. dan sejak awal 2011 aku menjabat ketua prodi Magister PAI Prpgram Pascasarjana Unwahas, sejak 28 Mei 2012 diberi amanat Asisten Direktur PPs, dan sejak 13 Juli 2013 menjabat Wakil Rektor III (Student Affairs). Saudara kandung: 1) Tulus Sayukti, 2) Siti Rahayu, dan 3) Zumrotun Nur (adik). Semuanya tinggal di desa kelahiranku. Hp: 081326789779, email: syakur_cahkudus@yahoo.co.id

Kamis, 19 Juli 2018

Kupatan dan Pendidikan

Tradisi Kupatan: media pendidikan sosial keagamaan
Oleh Mahlail Syakur Sf.

Budaya Lokal yang ditinggalkan oleh para Leluhur bangsa di Nusantara ini terutama di wilayah Jawa cukup banyak dan bervariasi. Ada yang berupa bangunan, kesenian, tradisi, dan sebagainya. Di antara tradisi peninggalan Leluhur yang masih eksis hingga kini adalah “KUPATAN”. Tradisi yang sangat sederhana ini perlu dilestarikan mengandung nilai-nilai edukasi tinggi.
Terma “Kupatan” diambil dari kata “kupat”, yaitu makanan tradisional dengan bahan utama beras yang dibungkus dengan anyaman janur berbentuk Segi Empat dengan volume antara 200 - 300 mg. Makanan ini rasanya mirip dengan lontong yang umumnya dibuat dengan bungkus daun pisang.
Unsur-unsur dalam Tradisi Kupatan:
Bahan
Proses Pembuatan
Penghidangan 

Tradisi Kupatan sebagai Media Pendidikan
Banyak nilai pendidikan yang dapat diambil dari Tradisi Kupatan, mulai dari proses pembuatan hingga penyajian. Pesan dan nilai pendidikan semakin terasa manakala bangsa ini mulai merasakan getaran-getaran kecil akibat perkembangan teknologi yang mendorong sebagian kecil manusia memanfaatkannya sebagai media perpecahan dan disintegrasi bangsa mulai terancam. Para Leluhur bangsa ini memanfaatkan momentum Lebaran secara cerdas untuk mendidik ummat, bagi dari segi sosial maupun keagamaan.
Dilihat dari bahan, kupat dibuat dari bahan “janur”, yaitu daun kelapa yang masih muda. Hal ini mengisyaratkan bahwa manusia yang baik adalah mereka yang siap memberi manfaat kepada yang lain dan harus dimulai sejak usia muda, tidak perlu ditunda-tunda atau berarti bahwa yang muda harus berprestasi.
Dilihat dari segi proses pembuatan, kupat membutuhkan keterampilan khusus meski sederhana, dan ketelitian. Proses ini secara tidak langsung menyandarkan bangsa bahwa untuk memperoleh hasil / prestasi yang baik dibutuhkan keterampilan (softskills) dan mengerjakannya secara serius dan teliti sesuai dengan tahapan dan prosedur yang berlaku. Jika dalam proses pembuatannya ada yang salah atau tidak dikerjakan secara teliti maka hasilnya tidak sesuai dengan harapan atau bahkan gagal.
Dilihat dari segi isi, hampir dapat dipastikan bahwa isi atau bahan utama kupat adalah beras. Hal ini secara tidak langsung mendidik bangsa agar terbiasa mencintai produksi lokal sebagaimana yang diajarkan dalam fiqh mengenai zakat fitrah.
Dilihat dari segi penyajian atau cara makan, kupat dimakan dengan cara mengiris atau menyobek janur pembungkusnya dengan alat yang tajam seperti pisau dan sebagainya, bukan dikelupas atau dilepas janurnya dari anyaman pembungkus. Cara ini mengandung ajaran bahwa dalam suasana Lebaran setiap manusia/ bangsa harus siap mengaku kesalahan dan mau memohon maaf kepada teman atau saudaranya, tetapi meskipun demikian saudara atau temannya harus berhati-hati dan bijak dalam menghadapi pengakuan saudara atu temannya, tidak diperbolehkan membongkar kesalahan atau aib orang lain secara gegabah. Dengan demikian terjadilah “Halal bi-Halal” sebagaimana yang dikenal selama ini.
Tradisi Kupatan dirasa sangat efektif sebagai media pendidikan karena dalam momentum ini masyarakat berkumpul di masjid atau mushalla terdekat guna makan bareng kupat dan sayur hasil kreativitas masing-masing. Kesempatan itu meruapakan momen yang sangat baik bagi seluruh komponen masyarakat untuk bertemu, saling mendoakan, dan makan bareng. Rasa kebersamaan dan kerukunan sangat terasa, tidak ada sedikitpun rasa sirik dan dengki dalam suasana itu. Mereka menyadari betapa sulit untuk waktu berkumpul karena kesibukan kerja masing-masing. Kecuali itu kehadiran mereka ke masjid atau mushalla merupakan media pendidikan bagi orangtua untuk melatih anak-anak dan generasi muda agar lebih dulu mengenal masjid atau mushalla sebelum mengenal tempat-tempat lainya setelah lebaran, agar mereka terbiasa hadir ke masjid/ mushalla yang lama-lama mau menjalankan shalat berjama’ah. 
Itu sekilas nilai-nilai pendidikan sosial dan keagamaan di balik Tradisi Kupatan.

Penulis:
Pemerhati Pendidikan dan Budaya,
Dosen FAI Unwahas Semarang,
Ketua Takmir Mushalla al-Hadi Ngembalrejo Kudus

Baca pula:
http://suaranahdliyin.com/menelisik-makna-di-balik-tradisi-kupatan-4253

Rabu, 18 Juli 2018

Huruf Jar Ba' dalam Wahyu Pertama

HURUF JAR BA` DALAM WAHYU PERTAMA

Oleh M. Syakur Sf.


keywords: huruf jar, wahyu pertama

Huruf jar merupakan salah satu tema dalam kajian ilmu nahwu yang memiliki keunikan tersendiri. Jumlahnya banyak dan masing-masing mempunyai fungsi yang berbeda sesuai dengan kedudukannya yang sangat berpengaruh dalam suatu kalimat (jumlah mufidah).

Para tokoh ahli di bidang ilmu ini dan para ahli al-Qur`an telah menjelaskan huruf-huruf jar dan ragam maknanya. Namun demikian tidak menutup kemungkinan ditemukan beberapa huruf jar dalam al-Qur`an menunjukkan makna lain dari kebiasaan persepsi. Di antaranya adalah huruf jar ba` dalam surat al-‘Alaq ayat 1-5. Maka persoalan utama dalam kajian singkat ini: Bagaimana makna huruf jar ba` dalam wahyu pertama?

Ditinjau dari segi posisi, huruf jar sama halnya dengan “preposition” dalam studi Bahasa Inggris atau sama dengan “kata depan” dalam Bahasa Indonesia. Huruf Jar adalah terma yang berasal dari bahasa Arab harf al-jarr (حَرْف الجرّ). 

Yang dimaksud dengan jar (جرّ) atau khafadl (خفْض) adalah ungkapan tentang i’rab terkait dengan tanda baca kasrah dan/ penggantinya pada akhir kata yang dipengaruhi oleh faktor jar (‘amil jar = عامل الجرّ  atau ‘amil khafadl = عامل الخفْض), baik berupa huruf maupun isim. Contoh: fi buyutin = في بُيوتٍ . Bacaan atau tanda kasrah pada akhir kata buyut (بُيوتٍ) itulah jar atau khafadl, sedangkan huruf fi tersebut berfungsi sebagai ‘amil jarr/ ‘amil khafdl. 

Huruf jar/ khafadl mempunyai kedudukan sebagai faktor jar (‘amil jar = عامل الجرّ  atau ‘amil khafadl = عامل الخفْض) yang berfungsi untuk menerangkan posisi kata yang dipengaruhinya dengan makna baru. 

Masing-masing huruf jar mempunyai makna fungsional dalam suatu kalimat (jumlah). Adapun huruf jar ba` mempunyai banyak makna secara fungsional, yaitu:

  1. Ta’diyah (تعدية); Makna ini lazim dikenal dengan makna ilshaq (إلصاق); 
  2. Mulabasah (ملاسبة);
  3. Isti’anah (استعانة);
  4. Sababiyyah (سببيّة);
  5. Dlarfiyyah (ظرفيّة);
  6. Tab’idl (تبعيض); 
  7. Zaidah (زائدة);
  8. Sebagai pengganti fungsional huruf ma’ (مع), min (مِن), dan ‘an (عن).


Huruf jar ba` muncul dua kali dalam wahyu pertama, yaitu pada ayat 1 dan ayat 4. Keduanya adalah huruf jar (khafadl) yang secara fungsional bertugas sebagai ‘amil jar (khafidl) dengan makna yang berbeda.

Baca makalah selengkapnya di LINK ini 👉 https://drive.google.com/file/d/1gf1_6vidWH_CuiRdXjGVXXg8HVY3gijM/view?usp=sharing 

Penulis: H. Mahlail Syakur Sf. (Dosen UQ pada FAI Unwahas Semarang) 


--ms2f-28mei2018--