Jumat, 22 Februari 2019

Hukum Menyentuh Terjemah al-Qur'an - Kang Syakur

Hukum Menyentuh Terjemah al-Qur'an
 
Mahlail Syakur Sf. 
 
Al-Qur'an dan Terjemahnya : Departemen Agama Republik Indonesia : Free  Download, Borrow, and Streaming : Internet Archive 
al-Qur`an & Terjemahnya
Departemen Agama RI


Membaca al-Qur'an terjemahan saat ini sudah banyak dilakukan oleh siapa pun, khususnya orang-orang yang ingin mengetahui kandungan arti kata yang terlafalkan dalam al-Qur'an. Bagi orang yang tak memiliki pengetahuan bahasa Arab yang memadai, al-Qur'an terjemahan pun menjadi solusi paling mudah.

Masalahnya adalah apakah al-Qur'an terjemahan statusnya sama dengan al-Qur'an tanpa terjemah, sehingga dalam memegang dan membawanya wajib dalam keadaan suci dari hadats? Atau hukumnya berbeda?


Kaidah Umum

Kaidah yang harus diketahui sebelum menjawab pertanyaan ini adalah bahwa al-Qur'an menjadi hilang kewajiban memegang dalam keadaan suci ketika di dalamnya lebih dominan penafsiran al-Qur'an dari pada teks asli al-Qur'an dalam segi hurufnya. Dalam artian, jika jumlah huruf al-Qur'an dikalkulasikan (menurut sebagian pendapat, jumlah huruf Al-Qur’an sebanyak 162.671) masih tidak sebanding dengan jumlah huruf yang ada pada tafsir al-Qur'an. Sehingga diperbolehkan untuk menyentuhnya meski tanpa wudhu, sebab hal tersebut tidak lagi dinamakan mushaf al-Qur'an tapi beralih menjadi kitab Tafsir. Hal ini seperti yang sering kita lihat dalam kitab-kitab tafsir yang berjilid-jilid seperti tafsir FakhrurraziAl-QurtubyIbnu katsir, dll. 

Sedangkan untuk kitab tafsir Jalalain menurut sebagian pendapat jumlah hurufnya lebih banyak dua huruf jika dibandingkan dengan huruf al-Qur'an sehingga boleh menyentuhnya tanpa wudhu.meski begitu para ulama tetap menganjurkan orrang yang membawa kitab tafsir Jalalain agar tetap dalam keadaan suci, sebab dikhawatirkan adanya kesalahan cetakan atau penulisan dalam kitabnya hingga akhirnya mengurangi jumlah huruf tafsiran yang ada pada kitab tafsir Jalalain.

Lalu yang menjadi pertanyaan, apakah terjemahan dihukumi sebagai tafsir?


Antara Terjemah dan Tafsir 

Dalam kitab Manahil al-'Irfan dijelaskan bahwa terjemah terbagi menjadi dua sebagai berikut: 
Pertama, terjemah harfiyyah, yakni penerjemahan al-Qur'an per kata dengan memberikan pada masing-masing kata dalam al-Qur'an dengan makna yang sesuai (dalam hal ini menggunakan bahasa Indonesia) tanpa adanya loncatan penerjemahan untuk mewujudkan runtutan arti yang sesuai. 

Kedua, terjemah tafsiriyyah, yaitu penerjemahan al-Qur'an yang lebih dominan dalam hal mewujudkan rangkaian makna yang sesuai dan mudah dipahami, sehingga penerjemahan dengan model seperti ini sering terjadi loncatan kata yang terdapat dalam al-Qur'an (Muhammad Abdul Adzim Az-Zarqani, Manahil al-Irfan, juz 2, hal. 80).

Terjemahan yang biasanya ditemui dan digunakan oleh khalayak umum termasuk dalam kategori terjemah Tafsiriyyah, sebab jika diteliti secara mendalam banyak sekali ditemukan lompatan-lompatan makna yang tidak sesuai dengan runtutan kata yang terdapat dalam al-Qur'an. Hal ini dikarenakan tujuan penulisan terjemah tersebut lebih ke arah memahamkan pembaca pada maksud dalam kata al-Qur'an secara umum, bukan mengartikan per-kosa kata dalam al-Qur'an.

Segala jenis terjemah, baik terjemah tafsiriyyah ataupun harfiyyah tidak berstatus sebagai tafsir yang dapat merubah al-Qur'an menjadi dapat dipegang meski dalam keadaan hadats, karena arti tafsir sendiri adalah:

وان التفسير: هو التوضيح لكلام الله تعالى سواء كانت بلغة الأصل {اللغة العربية} أم بغيرها، بطريق اجمالي أو تفسيري، متناولا كافة المعانى والمقاصد أو مقتصرا على بعضها دون بعض

(Tafsir adalah memperjelas kalam Allah, baik dengan menggunakan bahasa asli (bahasa Arab) atau dengan Bahasa yang lain. Baik penjelasan secara global ataupun dengan cara penafsiran . mencakup terhadap keseluruhan makna dan maksud dalam al-Qur'an ataupun meringkas dengan sebagian makna dan tujuan tanpa menjelaskan makna dan tujuan yang lain). (Muhammad Abdul Adzim Az-Zarqani, Manahil al-Irfan, Juz 2, Hal. 80)


Hukumnya 

Terjemah al-Qur'an bukanlah sesuatu yang memperjelas kandungan makna dalam al-Qur'an, akan tetapi sekadar mengartikan kata yang terdapat dalam al-Qur'an, sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai tafsir. Oleh sebab itu, orang yang memegang terjemahan wajib dalam keadaan suci ketika memegang atau membawa al-Qur'an terjemahan. Hukum ini ditegaskan dalam kitab Nihayah az-Zain:

أما ترجمة المصحف المكتوبة تحت سطوره فلا تعطي حكم التفسير بل تبقى للمصحف حرمة مسه وحمله كما أفتى به السيد أحمد دحلان

(Adapun terjemahan mushaf Al-Qur’an yang ditulis dibawah kertas dari mushaf maka tidak dihukumi sebagai tafsir, akan tetapi tetap berstatus sebagai mushaf yang haram memegang dan membawanya (dalam keadaan hadats), hukum ini seperti halnya yang difatwakan oleh Sayyid Ahmad Dahlan). (Muhammad Nawawi al-Bantani, Nihayah az-Zain juz. 1, Hal. 33)

Demikian penjelasan tentang materi ini, secara umum dapat disimpulkan bahwa status Al-Qur’an terjemahan tetap dihukumi sebagai al-Qur'an yang wajib membawa dan memegangnya dalam keadaan suci. 

Wallahu a’lam

<MS2F>


Selasa, 12 Februari 2019

Husn al-Khatimah = حسن الخاتمة 
 
Mahlail Syakur Sf. 
syakur@unwahas.ac.id
syakursf@gmail.com 




Dari segi bahasa, terma husnul khatimah ini terdiri atas dua kata, yaitu _husn_ (حسن) dan _al-Khatimah_ (الخاتمة ). 
Kata _husn_ (حسن) diambil dari kata _hasan_ (حسن) atau _hasanah_ (حسنة) yg berarti baik sbg lawan kata _su'_ (سوء) yg berarti buruk, jelek. 
Kata _husn_ (حسن) ditemukan dlm al-Qur'an dg makna ini, seperti _husn al-ma'ab_ (حسن المأب) dalam Surat Ali 'Imran: 14, yg artinya "tempat kembali yang baik atau sebaik-baik tempat kembali (surga)".

Sedangkn kata _al-Khatimah_ (الخاتمة) merupakan derivat dari kata _khatama_ (ختم) atau _khatm_ (ختم) yang berarti terakhir, akhiran, bagian akhir, penutupan, kesempurnaan/penyempurnaan, pungkasan, dsb. 

Kata ini umumnya digunakn dlm al-Qur'an dg makna "menutup" atau "mengunci" sbgmn terdpt pd surat al-Baqarah: 7 dan surat Yasin: 65. 

Dg demikian _husn al-Khatimah_ (حسن الخاتمة ) berarti keadaan terakhir yg baik. Dalam konteks kehidupan terma dipahami sbg akhir hayat yg baik, yaitu dlm keadaan *tetap beriman dan Islam*. 
Keadaan akhir hayat (_endlife_) seperti itulah yang menjadi harapan sekaligus dambaan setiap muslim, sehingga du'a yg sll dipanjatkan adalah: 
اللهم اختم لنا منك بالخير والإيمان وحسن الخاتمة 
(Ya Allah, berikanlah kami kesempatan dari-Mu di akhir hidupku dg kebaikan, tetap iman, dan husn al-Khatimah)

Adapun terma _khusn al-Khatimah_ (خسن الخاتمة) yg ditulis dg _kh_ (خ) tidak ditemukan dlm al-Qur'an maupun dlm Kamus Bhs Arab. Dg demikian hanya tulis/ejaan akan terma ini, dan tidak berimplikasi pd fungsional makna. 

Lawan dari terma _husn al-khatimah_ adalah _su' al-khatimah_ (سوء الخاتمة). Namun terma ini tidak dijumpai scr tekstual dlm al-Qur'an kecuali hanya kata _su'_ dalam banyak ayat yg umumnya berlawanan dg terma _husn al-khatimah_, seperti _su' al-hisab_ (سوء الحساب), _su' al-'adzab_ (سوء العذاب), _su' ad-dar_ (سوء الدار), dan bbrp kata _sayyi'ah_ (سيئة) dan _sayyi'at_ (سيئات). Semua terma tsb menunjukkan akhir hayat yg *jelek bin buruk* yang dikhawatirkan oleh banyak manusia beriman, sehingga du'anya: 
اللهم وكفر عنا سيئاتنا 
(Ya Allah, hapuskanlah dosa-dosa kami)

Atau dlm du'a asma' Allah: 
.... كفر عنا سيئاتنا واستر على عيوبنا 
(.... Hapuskan dosa2 kami dan tutupilah cacat kami) 

Manusia yang baik disebut dalam al-Qur'an sebagai "khair al-bariyyah" (خير البرية) dan yang buruk perilakunya disebut sebagai "syarr al-bariyyah" (شر البرية) (Baca QS. al-Bayyinah: 6-7).

والله أعلم بالصواب 
Demikian dan semoga bermanfa'at 

<MS2F> 13022019