PESAN-PESAN
PENDIDIKAN DALAM SHALAWAT GUS DUR
Oleh Mahlail
Syakur Sf.
Abstracts:
Shalawat Gus Dur is "Syi'ir Tanpo Wathon" also
known as "Syi'ir Gus Dur". This Syi'ir is popular and
sought after by society because of its moral message. This research is as a
library study (library research) and the results are normative-descriptive and
qualitative with content analysis. This syi'ir consists of thirteen verses and contains
eleven educational messages. This Syi'ir is best as a teaching material for
Muslims society, because it
contains the message that every individual becomes religious pious as 'abd
Allah at the same time as social pious as khalifah Allah.
Key Words: Gus Dur Salawat, Syi'ir Tanpo Waton,
Educational Messages
Abstrak:
Shalawat Gus Dur adalah “Syi’ir Tanpo
Wathon” yang juga dikenal sebagai “Syi’ir Gus Dur”. Syi’ir ini populer dan
diminati masyarakat karena pesan moralnya. Penelitian ini merupakan Studi Kepustakaan
(library research) dan hasilnya bersifat normatif-deskriptif dan
kualitatif dengan analisis isi (content analysis). Syi’ir ini terdiri
atas tigabelas bait dan mengandung sebelas pesan pendidikan. Syi’ir ini laik
menjadi bahan ajar bagi ummat muslim karena berisi pesan agar setiap individu
menjadi saleh beragama sebagai ‘abd Allah sekaligus saleh sosial
(bermasyarakat) sebagai khalifah Allah.
Kata kunci: Shalawat Gus Dur, Syi’ir Tanpo Waton,
Pesan Pendidikan
A. Pendahuluan
Dinamika kehidupan di masyarakat saat ini
menunjukkan pergeseran karakter bangsa. Masyarakat Indonesia yang dulu
populis-sosialis berganti menjadi manusia yang materialis-individualis, bahkan
anarkis. Tidak ada lagi gotong-royong, keehidupan serba diukur dengan materi,
serta kesenjangan sosial semakin lebar. Kedamaian dan kerukunan berganti
konflik yang berujung pada tawuran dan bentrok antar kelompok.[1]
Gus Dur dikenal sebagai figur multi
talenta (multitalent figure). Dalam tulisan-tulisannya, Gus Dur pandai
meracik hikmah yang terkandung dalam tradisonalitas dan modernitas, antara
spiritualitas dan realitas, antara rasio dan wahyu Ilahi. Salah satu tema
penting dalam tulisannya adalah kecintaannya yang mendalam terhadap budaya
Islam tradisional.[2]
Karya-karyanya meliputi berbagai bentuk.
Salah satunya adalah “Syi'ir Tanpo Waton” yang juga dikenal sebagai “Shalawat
Gus Dur”. Melalui Sya’ir Shalawat ini Gus Dur mengajak umat untuk memahami
agama sebagai suatu penghayatan yang sarat dengan nilai-nilai budaya.
Karenanya, agama dan budaya harus saling memberi dan menerima. Dengan budaya
agama akan dijalani dengan perasaan dan emosi yang memungkinkan seseorang untuk
merasa yakin atas kebenaran, dan dengan intellektual seseorang dapat bersikap
rasional.[3]
Shalawat Gus Dur yang berupa sya’ir ini
mulai populer beberapa bulan setelah Gus Dur meninggal dunia. Popularitasnya
sungguh luar biasa. Masyarakat Gusdurian benar-benar merasakan nikmatnya hidup
beragama dengan shalawat ini, seakan-akan masih hidup bersama pengarangnya, Gus
Dur. Shalawat ini dibaca dalam acara-acara kegamaan seperti Tahlilan, Tasyakuran,
Lailatul Ijtima', bahkan dalam rapat-rapat organisasi dan
pertemuan kaum ibu. Banyak warga yang hapal di luar kepala, meski syair
ini agak panjang.
Belakangan ini Shalawat Gus Dur dirangkai
dengan do’a Abu Nawas yang dilantunkan oleh Gus Dur dalam beberapa kegiatan
yang diselenggarakan untuk Gus Dur, termasuk juga talkshow bersama Gus
Dur di salah satu stasiun televisi swasta, dan pada prosesi pemakaman Gus Dur.
Kecuali itu, beberapa masjid bahkan memutar Shalawat Gus Dur ini menjelang
adzan sebagai pengganti bacaan tarhim/ qira`ah sebagaimana yang telah lazim.[4]
Popularitasnya disebabkan oleh lantunan dengan lagu yang merdu dan menyayat
hati oleh empunya hingga berdaya pesona untuk memukau perhatian para penggemarnya
dan masyarakat. Lebih dari itu sya’ir ini memiliki pesan pendidikan yang sangat
mendalam.
Masalahnya: Bagaimana pesan-pesan
pendidikan yang terkandung dalam syi’ir ini.
B. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan Studi Kepustakaan
(library research) karena keseluruhan datanya diambil sumber-sumber
literal, baik berupa buku, catatan, maupun laporan hasil laporan penelitian
terdahulu.[5]
Oleh karena itu hasilnya bersifat normatif-deskriptif.
Penelitian ini bersifat kualitatif, maka
digunakan metode penelitian kualitatif karena data yang terkumpul dan
analisisnya lebih bersifat kualitatif dengan analisis isi (content analysis).
Langkah-langkah yang dilakukan adalah penentuan topik, pengumpulan sumber yang terkait
dengan teks sya’ir, verifikasi, dan intepretasi.[6] Kemudian
diambil simpulan berdasarkan hasil analisis atas isinya.
C. Hasil Penelitian dan Pembahasan
Sekilas tentang Gus Dur
Nama lengkap penulis Syi’ir Tanpo Waton
adalah K.H.
Abdurrahman Wahid. Beliau dilahirkan dari pasangan Wahid Hasyim dan Solichah di Denanyar Jombang, Jawa Timur.[7] Namanya pada
masa kecil adalah Abdurrahman
Addakhil yang berarti "Sang Penakluk".[8]
Kata "Addakhil" tidak
cukup dikenal sehingga
diganti dengan nama
"Wahid" dan akrab
dipanggil Gus Dur.[9]
Keluarganya sangat
terhormat dalam komunitas Muslim Jawa Timur. Ayahnya, K.H. Wahid Hasyim[10], terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan
menjadi Menteri
Agama tahun 1949
dan ibunya bernama Ny. Hj.
Sholehah binti K.H. Bisri Syansuri. Kakek dari garis ayah bernama K.H. Hasyim Asyari, tokoh sekaligus pendiri Nahdlatul Ulama (NU)[11]
sedangkan kakek dari pihak ibu bernama K.H. Bisri Syansuri[12]. Gus Dur menikah dengan Sinta Nuriyah dan dikaruniai empat putri (Alissa Qotrunnada, Zannuba Ariffah Chafsoh, Anita Hayatunnufus, dan Inayah Wulandari). Gus Dur meninggal
di Jakarta
pada hari Rabu tanggal 30 Desember
2009 di umur 69 tahun.
Gus Dur meraih banyak prestasi. Berbagai
penghargaan telah diterimanya. Di antaranya adalah:
a. Ramon Magsaysay Award, sebuah
penghargaan yang cukup prestisius untuk kategori Community Leadership (1993);[13]
b. Bapak Tionghoa oleh beberapa tokoh Tionghoa Semarang di
Kelenteng Tay Kak Sie, Gang Lombok, yang selama ini dikenal sebagai kawasan Pecinan (10 Maret 2004);[14]
c. Lifetime Achievement Award dalam Liputan 6 Awards
2010 (21 Juli 2010, meskipun telah wafat).[15]
Gus Dur memperoleh sepuluh gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris
Causa) dari berbagai lembaga pendidikan, yaitu:
b. Doktor Kehormatan dari Asian
Institute of Technology, Bangkok, Thailand (2000);
c. Doktor Kehormatan bidang Ilmu Hukum
dan Politik, Ilmu Ekonomi dan Manajemen, dan Ilmu Humaniora dari Pantheon Universitas Sorbonne, Paris,
Perancis (2000);
j. Doktor Kehormatan dari Universitas
Sun Moon, Seoul, Korea Selatan (2003).[16]
Setidaknya ada sembilan pokok pemikiran
dan prinsip kebangsaan serta keberagamaan Gus Dur yang toleran. Sembilan pokok
pikiran tersebut meliputi bidang ketauhidan, kemanusiaan, keadilan, kesetaraan,
pembebasan, kesederhanaan, kesatriaan, persaudaraan, dan kearifan lokal.[17]
Menurut Koordinator Gusdurian, Alissa Wahid, apapun konteksnya, Gus Dur tidak
pernah menanggalkan prinsip-prinsip tersebut. Oleh karena itu, Gus Dur memiliki
keberpihakan yang tinggi terhadap kelompok minoritas maupun mereka yang
tertindas.[18]
Syi’ir Tanpo Waton: Shalawat Gus
Dur
Sya’ir yang sangat popular ini dikenal
dengan sebutan “Syi’ir Tanpo Waton” yang berarti “Sya’ir Tanpa Judul” karena
tidak/ belum diberikan judul untuknya. Sebutan lainnya adalah “Shalawat Gus
Dur” karena sya’ir ini dinisbatkan pada penulisnya, K.H. Abdurrahman Wahid (Gus
Dur). Namun demikian didapati informasi lain bahwa sya’ir ini bukan milik Gus
Dur melainkan karya al-Mukarrom K. H. M.
Nidhom As-Shofa (Pengasuh Pondok Pesantren Ahlus-Shafa wal-Wafa, Sidoarjo)[19].
Demikian pula kontroversi mengenai suara yang melantunkan Syi’ir Tanpo Waton
ini. Bahkan putri tertua Gus Dur, Alisa Qothrunnada meragukan bahwa pelantun
shalawat ini adalah ayahnya sendiri. Pasalnya Syi'ir Tanpo Waton ini belum
pernah dikenalkan oleh Gus Dur kepada putri-putrinya, berbeda dengan syair Abu
Nawas, syi’ir Rabi’ah Adawiyah, atau pun Shalawat Badar. Menurutnya, suara
pelantun Syi'ir Tanpo Waton itu terkadang seperti suara Gus Dur tetapi sebentar
kemudian seperti bukan Gus Dur. Menurutnya, ada bagian yang memang mirip Gus
Dur tetapi pada bagian lain tidak.[20]
Sya’ir ini digemari oleh masyarakat
agamis terutama di Jawa karena syi’ir ini bermuatan nilai-nilai pendidikan dan
bernuansa spiritual dari seorang Sufistik[21],
Kyai Nyentrik[22]. Sya’ir
ini disusun dengan sistematika yang bagus, rapi, dan padat; dimulai dengan teks istighfar dan shalawat, disusul
tigabelas bait syair dalam bahasa Jawa, dan ditutup dengan teks shalawat.
Sya’ir ini sangat popular di seluruh
Nusantara, terutama di kalangan masyarakat berbasis NU (Nahdliyyun). Hingga
hari Ahad Legi, 1 Juli 2012 / 11 Sya’ban 1433 H. peneliti mencatat 25 komentar
yang dialamatkan kepada syi’ir karya Kyai Nyentrik, Gus Dur, ini.[23]
Di antarnya adalah 16 komentar sebagai berikut:
a.
wewgombel: “Dalam banget. Syi'ir ini hanya bisa dikaryakan oleh orang
yang telah mengalami atas apa yang terkandung di dalamnya” (6 April 2011 18:28);
b.
RafysTECH: “Sangat-sangat mendalam yang terkandung dalam Syi'irnya
Gus Dur, ... thanks bro dah di-share, ...” (http://rafystech.blogspot.com / 6 Mei 2011 03:50);
c.
kamagunta's blog: “Subhanallah ...
semoga dpat dijadikan sebagai acuan dalam bertindak. Amiin ...” (http://kamagunta.blogspot.com / 24 Mei 2011 19:30);
g.
adieb fahroer
reezha:
“Sedikit koreksi dari para pembaca
bahwa mengenai syi'ir tanpo waton bukanlah punya Gus Dur melainkan punya
al-mukarrom romo kiyai H.M. Nidhom
As-Sofa yang mana beliaunya adalah pengasuh pondok pesantren ahlus-sofa wal
wafa dengan alamat jl.darmo no.1 Simoketawang Wonoayu Sidoarjo. Kendati demikian yang lebih penting lagi
untuk kta ketahui adalah substansi makna yang terkandung dalam syi'ir ini yang
bgitu dalam” (28 Juli 2011 17:06);
k.
MTs
MA'ARIF 03 SOJOKERTO:
“Benar-benar sangat mendalam dan menyentuh hati bgt ...” (koko.mx135@gmail.com / mtsmaarif03sojokerto.blogspot.com / 20 Agustus 2011 06:07);
m.
KIPAS: “Subhanallah... pas banget dengan keadaan jaman skrang,
padahal kita tidak tau kapan karangan ini dibuat” (13 Desember 2011 18:26);
n.
Anonim: “al-hamdulilah ... terima kasih mas... semoga anda diberi
rahmat ALLAH SWT karna share syair Syi'ir Tanpo Waton ini” (5 Januari 2012 01:23);
o.
Anonim: “Subhanallah .... gus dur adalah ulamanya dunia. selain
filsafatnya yang dalam, dia juga hampir menguasai bahasa dunia. seorang ulama
tidak hanya pintar di ilmu agamanya saja, tapi ilmu politik dan teknologinya
juga bisa. karena tugas ulama adalah warisan ilmu rasulallah. yang menerima
ahli waris rasul bukan harta atau jabatan, tapi ilmu”. (29 Januari 2012 08:56);
p.
Andrie Husein: “Tak bisa bicara dan berkomentar banyak
mendengar dan membaca syair ini … betul-betul indah dan menyayat hati …” (26
August 2011 14:49:24).
Pesan Pendidikan dalam Sya’ir
Kendati terdapat kontroversi
mengenai siapa pengarangnya namun isi dan substansi makna yang terkandung
dalam syi'ir ini yang begitu dalam dan luar biasa. Pesan-pesannya memberikan edukasi
kepada masyarakat beragama di era global ini. Syi’ir ini merupakan salah satu
kenang-kenangan dari Gus Dur, sedikit
oleh-oleh pemikiran Islam Gus Dur bagi segenap umat Islam pada
khususnya.
Memaknai ajaran agama, di mata Gus
Dur, tidak dapat dilepaskan dari sisi kemanusiaannya. Untuk menjadi penganut
agama yang baik, selain meyakini kebenaran ajaran agamanya, juga harus
menghargai kemanusiaan.[24]
Dalam syi’ir ini, Gus Dur berbagi ilmu, mengkritik kepada sesama muslim, dan
banyak hal yang diberikan dalam beberapa baris syairnya. Dari ajakan untuk
tidak sekadar membaca teks al-Qur’an, namun juga seharusnya manusia belajar
memahami isinya. Gus Dus mengkritisi pihak-pihak yang (suka) mengkafirkan
orang lain namun tidak memperhatikan kekafirannya sendiri, dan beberapa pesan
pendidikan lainnya bagi bangsa beragama ini.
Sya’ir ini mengandung sebelas pesan
pendidikan yang tersebar dalam tigabelas bait, yaitu:
1.
Holistikasi menuntut ilmu:
syari’at dan tasawuf (bait 2): Duh bolo konco priyo wanito, Ojo
mong ngaji Syare'at bloko, Gur pinter ndongeng, nulis, lan moco, Tembe
mburine bakal sengsoro;
2.
Sinkronisasi sikap Keberagamaan
(bait 3): Akeh kang apal Qur'an haditse, Seneng ngafirke marang liyane, Kafire
dewe gak digatekke, Yen isih kotor ati akale;
3.
Prilaku Zuhud (bait 4): Gampang
kabujuk nafsu angkoro, Ing pepaese gebyare ndunyo, Iri lan meri sugihe
tonggo, Mulo atine peteng lan nisto;
4.
Perkuat Iman (bait 5): Ayo
sedulur jo nglaleake, Wajibe ngaji sak pranatane, Nggo ngandelake iman
tauhide, Baguse sangu mulyo matine;
5.
Toleran (bait 6); Kang aran
soleh bagus atine, Kerono mapan seri ngelmune, Laku thoriqot lan ma'rifate, Ugo
hakikot manjing rasane;
6.
Memedomani al-Qur`ân (bait 7-8):
Al-Qur'an Qodim wahyu minulyo, Tanpo ditulis biso diwoco, Iku wejangan
guru waskito, Den tancepake ing njero dhodho; Kumanthil ati lan
pikiran, Mrasuk ing badan kabeh jeroan, Mu'jizat Rosul dadi pedoman, Minongko
dalan manjinge iman;
7.
Taqarub pada Allah (bait 9): Kelawan
Allah kang moho suci, Kudu rangkulan rino lan wengi, Ditirakati diriyadhohi, Dzikir
lan suluk jo nganti lali;
8.
Qana’ah (bait 10): Uripe ayem
rumongso aman, Dununge roso tondho yen iman, Sabar narimo najan pas-pasan, Kabeh
tinakdir saking pengeran;
9.
Hidup Harmonis (bait 11): Kelawan
konco dulur lan tonggo, kang podho rukun ojo ngasio, Iku sunahe Rosul kang
mulyo, Nabi Muhammad panutan kito;
10.
Tawakkal (bait 12): Ayo
nglakoni sakabehane, Allah kang bakal ngangkat derajate, Senajan ashor toto
dhohire, Ananging mulyo maqom drajate;
11.
Mencari Ridla Allah (bait 13): Lamun
palastro ing pungkasane, Ora kesasar roh lan sukmane, Den gadhang Allah
swargo manggone, Utuh mayite ugo ulese.
D. Simpulan
Shalawat Gus Dur atau Sya’ir Tanpo
Wathon tersistemasi dalam tigabelas bait dan berisi sebelas pesan
pendidikan yang berguna bagi masyarakat di era global. Sya’ir Gus Dur
memiliki dampak sosial yang luar biasa bagi kehidupan beragama dan
bermasyarakat secara integral-interkonnektif. Sya’ir ini laik menjadi bahan
ajar (kurikulum) bagi pendidikan karena pesan moralnya. Sya’ir ini
berkontribusi bagi pembinaan karakter agar setiap individu mempunyai kepribadian
yang saleh beragama sebagai ‘Abdullah sekaligus saleh sosial (bermasyarakat)
sebagai Khalifah Allah.
Daftar Pustaka:
Amri, Syaiful, Kesehatan
Gus Dur Ambruk di Jombang. Liputan6
Online edisi 30-12-2009.
Asmawi, PKB Jendela Politik Gus Dur,
Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1999.
Barton, Greg, Biografi Gus
Dur (The Authorized
Biography of Abdurrahman Wahid), Yogyakarta: LkiS,
2011.
---------------, Biografi Gus Dur (The
Authorized Biography of Abdurrahman Wahid). Terjemahan: Lie Hua,
Yogyakarta: LkiS, 2004, Cetakan IV.
---------------. Abdurrahman Wahid:
Muslim Democrat, Indonesian President. Singapore: UNSW Press, 2002.
Conceicao, J.F., Indonesia's Six Years of Living Dangerously. Singapore: Horizon Books,
2005.
Hadi, Syamsul, GUS DUR: Guru Bangsa dan Bapak
Pluralisme, Jombang: Zahra Book, t.th.
Hakim, Arief, Politik NU dan Era Globaliasi
Gus Dur, Surabaya: LPLI Sunan Ampel, 1993.
http://adiebreezha.blogspot.com/2011/03/lirik-syiir-tanpo-waton-gus-dur.html
(1 Juli 2012).
http://nasional.
kompas.com/read/2012/06/07/22475812/Sembilan.Pemikiran.Gus.Dur.
Koesoema,
Doni A., Pendidikan Karakter, Jakarta: Gresindo, 2007.
Kustiasih,
Rini, Sembilan Pemikiran Gus Dur, Kompas, 7 Juni 2012.
Liputan6 "Penghargaan
Spesial Buat Gus Dur" (Diakses pada 22 Juli 2010).Mumazziq Z., Rijal, "Islam
dan Demokrasi", Surabaya: Post (Diakses pada 29 Juni 2012).
Mufidah, LukLuk Nur, “Pemikiran Gus Dur tentang
Pendidikan Karakter dan Kearifan Lokal” dalam jurnal AT-TAHRIR, vol. 15, no.
1 (STAIN Ponorogo, 2015).
Muhammad, Alvian (ed.), Gus Dur Bertutur,
Jakarta: Harian Proaksi, 2005.
Murod, Ma’mun, Menyingkap Pemikiran Politik
Gus Dur dan Amien Rais tentang Negara, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1999.
Ninik Karmini. Former
Indonesian president Wahid dies at 69 (yahoonews
dari AP edisi 30-12-2009).
Rusli,
Muh., “Pemikiran Keagamaan & Kebangsaan Gus Dur” dalam jurnal Jurnal
Farabi (IAIN Gorontalo) Volume 12 Nomor 1 Juni 2015.
Santalia,
Indo, “K.H. Abdurrahman Wahid: Agama dan Negara, Pluralisme, Demokratisasi,
dan Pribumisasi” dalam Jurnal Al-Adyaan, Volume I, Nomor 2, Desember 2015.
Santoso,
Listiyono, Teologi Politik Gus Dur, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
2004.
Soyomukti, Nurani, Pendidikan Berperspektif
Globalisasi, Jakarta: ar-Ruzz Media, 2008.
Suzeno,
Frans Magnis. Pembawa Bangsa Pasca Tradisional, dalam INCRES, Beyond The
Symbols Jejak antropologis Pemikiran dan Gerakan Gusdur. Cet. I; Bandung;
Remaja Rosda Karya, 2000.
Syakur Sf., M., “Hadits
Nabawi dalam Kajian NU" dalam jurnal Hermeneutika (STAIN Kudus), vol. No.
1, tahun 2012.
Turmudzi,
Imam, Gus Dur Wali Kesepuluh, Jombang: Zahra Book, 2011.
Wahid, Abdurrahman
“Pendidikan di Indonesia antara Elitisme dan Populisme”, dalam Mudjia
Rahardjo (ed.). Quo Vadis Pendidikan Islam, Malang: Cendekia Paramulya, 2011.
Wahid, Abdurrahman, Prisma
Pemikiran Gus Dur, Yogyakarta: LKiS, 2010.
www.nu.or.id
(16/10/2011 10:36).
|
-----ms2f----
[1]LukLuk
Nur Mufidah, “Pemikiran Gus Dur tentang Pendidikan Karakter dan Kearifan Lokal”
dalam jurnal AT-TAHRIR, vol. 15, no. 1 (STAIN Ponorogo, 2015).
[2] Greg
Barton, “Memahami Gus Dur” dalam Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur
(Yogyakarta: LKiS, 2010), h. xxvi. Lihat pula LukLuk
Nur Mufidah, Ibid.
[3] As’ad Said
Ali, “Bukan?-nya Seorang Gus Dur”, pengantar dalam Abdurrahman Wahid. Gus Dur
Bertutur, Jakarta: Harian Proaksi bekerjasama dengan Gus Dur Foundation, 2005,
h. xxiii.
[5]Lihat M. Iqbal Hasan, Pokok-Pokok
Materi Metodologi Penelitian (Bandung: Ghalia Indonesia, 2002), h. 11.
[6] Lihat Kuntowijoyo, Islâm
sebagai Ilmu (Jakarta: Teraju, 1995), h. 98.
[7] Lihat Greg Barton, Biografi
Gus Dur (The Authorized Biography of Abdurrahman
Wahid), terj. Lie Hua,
Yogyakarta: LKiS, 2011, h. 25.
[9] "Gus" adalah panggilan kehormatan khas
pesantren kepada seorang anak kiai yang berarti "abang" atau
"mas". Lihat Greg Barton, Ibid.
[10] KH. Abdul Wahid Hasyim
dilahirkan dengan nama Muhammad Asy’ari (diambil dari nama kakeknya). Kemudian
namanya diganti dengan Abdul Wahid (diambil dari nama datuknya). Beliau wafat
pada usia 39 tahun. Sumber: http://muzzymusthofa.blogspot.com/2010/04/kh-abdul-wahid-hasyim_07.html
(17/3/2013).
[11] Lihat M. Syakur Sf. “Hadits Nabawi dalam Kajian
NU" dalam jurnal Hermeneutika (STAIN Kudus), vol. 2 No. 1 (2012). Lihat
pula M. Syakur “Nahdlatul ‘Ulama dan Kajian Hadits Nabawi” dalam jurnal ADDIN
(STAIN Kudus), vol. 7, no. 2 (2013). Lihat pula http://id.portalgaruda.org/index.php?ref=browse&mod=viewarticle&article=401464
[12] K.H. Bisri Syansuri wafat pada usia 93 tahun. Beliau adalah ulama dan tokoh Nahdlatul Ulama (NU), yang juga pendiri Pondok Pesantren Denanyar, Jombang, terkenal di bidang fikih agama Islam. Beliau adalah kakek Gus Dur.
[13] Sumber: http://www.rmaf.org.ph/Awardees/Citation/CitationWahidAbd.htm. Sumber lain: Ninik Karmini. Former Indonesian president Wahid dies at 69. yahoonews dari AP edisi 30-12-2009.
[14] Syaiful
Amri. Kesehatan Gus Dur Ambruk di Jombang. Liputan6 Online edisi 30-12-2009.
[15] "Penghargaan Spesial Buat Gus Dur". Liputan6. (Diakses
pada 22 Juli 2010).
[18] Rini Kustiasih, “Sembilan
Pemikiran Gus Dur”, Kompas, 7 Juni 2012. Lihat pula http://nasional.
kompas.com/read/2012/06/07/22475812/Sembilan.Pemikiran.Gus.Dur.
[19]Lihat komentar adieb fahroer
reezha: “Sedikit koreksi dari para pembaca bahwa mengenai syi'ir
tanpo waton bukanlah (28 Juli 2011
17:06).
[20] Sumber: www.nu.or.id
(16/10/2011 10:36).
[21] Lihat Ust. Imam Turmudzi, Gus
Dur Wali Kesepuluh, Jombang: Zahra Book, 2011, h. 157.
[22]Sumber:
http://adiebreezha.blogspot.com/2011/03/lirik-syiir-tanpo-waton-gus-dur.html (1
Juli 2012).
[23]Sumber:
http://adiebreezha.blogspot.com/2011/03/lirik-syiir-tanpo-waton-gus-dur.html (1
Juli 2012).
[24] Listiyono
Santoso, Teologi Politik Gus Dur (Yogyakarta: Ar Ruzz, 2004), h. 102.
Konsep pendidikan ala Gus Dur
BalasHapus